HERO : Hidup Sebagai Pahlawan!
VERBA VOLANT, SCRIPTA MANEN.
Lisan sementara, sedang tulisan adalah abadi. Bahkan Ali bin Abi Thalib menegaskan pentingnya mengikat ilmu dengan tulisan. Tidak hanya tulisan tapi sebagaimana Al Ghazali pernah berpesan, masukan pula ilmu ke dalam dada.
----------
“Mungkin saja kisah pahlawan paling heroik sepanjang sejarah itu adalah kisah hidup kita sendiri dalam bab kehidupan yang belum selesai kita tulis.”
Selalu menarik berbicara tentang praktik kepahlawanan. Sejarah mencatat kisah kepahlawanan selalu abadi, tak pernah pupus dimakan waktu. Gagasan dan praktik heroik yang menegaskan identitas sang pahlawan selalu terekam sepanjang zaman. Menyejarah dan menggetarkan. Tak pernah mati hingga puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya. Selalu diingat, selalu dikenang, selalu dijadikan teladan bagi generasi di masa datang.
Ya, menjadi pahlawan berarti menjadi manusia besar, berpikir besar, berjiwa besar, serta melakukan hal-hal besar. Mereka bukan bulan yang memantulkan cahaya matahari, tetapi lebih dari itu meraka-lah sang matahari, yang bersinar terang tanpa menunggu pantulan cahaya dari sekelilingnya. Demikian dalam hidup, manusia besar senantiasa bercahaya. Geraknya memotivasi, tanpa menunggu motivasi untuk bergerak. Bagi manusia-manusia besar, kehidupan dimaknai sebagai arena berkontribusi. Mereka tidak disibukan dengan gelar dan masalah pribadi. Tidak disibukan dengan pergelutan “what to do” dalam ranah privat, tetapi mereka memilih bertarung demi kebermanfaatan publik."Non nobis solum nati sumus. (Not for ourselves alone are we born.)" Ujar Marcus Tullius Cicero. Pahlawan di lahirkan tidak hanya bagi dirinya, tapi bagi manusia yang lainnya. Mereka peduli dengan kondisi sekitar, mereka peka, mereka menginspirasi, mereka memberikan sesuatu bagi kehidupan.
Tentang syair kepahlawanan yang menggetarkan bahkan pernah dikumandangkan Asy-syahid Hasan Al Banna dengan lantang: “Betapa inginnya agar umat ini mengetahui, bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur, sebagai penebus kehormatan mereka, jika memang tebusan itu diperlukan. Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan cita-cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar...Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini, selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami. Menguasai perasaan kami. Memeras habis air mata kami. Dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami. Betapa berat rasa di hati. Ketika kami menyaksikan bencana yang mencabik-cabik umat ini. Sementara kita hanya menyerah pada kehinaan, dan pasrah pada keputusasaan…Kami ingin agar umat ini mengetahui, bahwa kami membawa misi yang bersih dan suci. Bersih dari ambisi pribadi. Bersih dari
kepentingan dunia. Dan bersih dari hawa nafsu. Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia. Tidak mengharapkan harta benda atau imbalan lainnya. Tidak juga popularitas. Apalagi sekedar ucapan terima kasih.”
Pahlawan memberdayakan keterbatasan menuju kekuatan. "What one has, one ought to use; and whatever he does, he should do with all his might." Maka bicara tentang kepahlawanan tidak semata mewacanakan jabatan, kekayaan, dan digdayanya kekuasaan.
Melainkan bicara tentang sesuatu yang lebih menggelora; tentang keberanian, kepedulian, kontribusi, dan kebermanfaatan bagi manusia sekitar. Bicara tentang pahlawan berarti membuka ruang tentang kisah heroik yang pernah digoreskan. Disana kita melihat Rasulllah SAW, Khalid bin Walid, Shalahudin Al Ayyubi, Muhammad Al Fatih, Marcus Tullius Cicero, atau Soekarno, Hatta, M.Natsir, Soedirman, atau bahkan Kita. Ya, kita!
Karena mungkin saja. Kisah pahlawan paling heroik sepanjang sejarah itu adalah kisah hidup kita sendiri dalam bab kehidupan yang belum selesai kita tulis. Maka berdenyutlah. Bergeraklah. Agar tidak mati sebelum waktunya.
-----------
diambil dari sedikit pendahuluan bakal calon buku HERO : Hidup sebagai Pahlawan! oleh Dea Tantyo (Insya Allah terbit Agustus 2010)
-----------
maka ijinkan saya menyebut pahlawan sbg "kontribusi menyejarah". Seorang pahlawan sejati, sesungguhnya sama sekali tak berniat menjadi pahlawan. Ia hanya bergerak pada ruang yg mampu di isi, bahkan kadang mendobrak kekakuan yg membeku, menghancurkan tirani yg membelenggu.
Ya, ia hanya bergerak mengikuti nurani. Hingga sampai pada satu titik bagi yg berada disekitarnya. .. gelar kepahlawan akan menghampiri dgn sendirinya bahwa kontribusinya walau hanya sekedar titik, tapi telah menjadi penyatu dan penyambung garis, dan menjadi sebentuk rupa yg menghias peradaban
a.fachrie
Taken From Milis Karisma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar